Hutan Gambut Doso Agung - dosoagung123/bos-pelindo- GitHub Wiki

Penanganan Kebakaran Gambut oleh Doso Agung

Doso Agung Sudah lebih dari sebulan Pak Sus tidak melihat matahari dengan jelas di sekitar rumahnya di Sumatera Selatan. Sinarnya hanya samar-samar terlihat, itupun hanya sesekali, meskipun pada siang hari yang seharusnya terik. Bukan karena matanya yang renta atau memiliki masalah dengan penglihatan. Nafasnya pun tidak lagi lega menghirup udara yang masuk ke hidungnya. Bahkan sesekali saat udara memasuki tenggorokannya, batuk mendesak keluar. Dadanya terasa panas. Bukan karena ia punya penyakit pernafasan atau paru-paru, bukan pula karena ia tinggal di kota besar dengan polusi udara yang pekat. Apabila masker di depan wajahnya di lepas, tak ayal hidungnya harus sering dibersihkan karena banyak abu terbawa angin lalu masuk ke lobang hidungnya doso agung

Istro Doso Agung

Pertengahan tahun 2015, asap telah menutupi langit sekitar desa Pak Sus. Begitu pula desa-desa tetangganya, hingga ke kecamatan sekitarnya. Kejadian yang selalu berulang setiap tahun akibat kebakaran hutan dan lahan, terlebih pada area gambut. Asap pekat menutupi lapisan udara di atas sehingga matahari selama berhari-hari tidak mampu menembuskan cahayanya hingga permukaan tanah. Meskipun saat itu musim kemarau yang biasanya sangat terik. Foto: Dokumentasi Penulis

Kebakaran gambut memang menciptakan kepulan asap sangat pekat. Warnanya putih, sesekali kecoklatan bila muncul api dari bawah lapisan gambut yang mengering. Ditambah kencangnya hembusan angin, penyebarannya sangat cepat, lalu menjadi sangat sulit dikendalikan. Kalaupun api sudah tidak menyala besar, bara yang tercipta di bawah permukaan menimbulkan kepulan asap sangat pekat, melebihi kepekatan asap kebakaran di permukaan tanah. Layaknya membakar tumpukan sampah di rumah, lalu menutup bagian atasnya dengan tumpukan sampah baru. Selanjutnya akan muncul asap sangat pekat. Kira-kira seperti itu juga yang terjadi pada lahan gambut. Lebih parah lagi, banyak gambut dari kedalaman hanya beberapa centimeter, hingga belasan meter. Maka dapat dibayangkan sulitnya memadamkan bara api di bawah, yang terus menerus mengeluarkan kepulaan asap pekat.

Pembukaan hutan lahan gambut, yang material penyusunnya berupa seresah daun dan kayu yang sebelumnya selalu basah, diikuti pembuatan kanal-kanal air untuk mengeringkannya, meningkatkan kerentanan terjadinya kebakaran. Apalagi pada musim kering. Cukup dengan sebatang puntung rokok menyala, dilempar sambil naik motor, maka kebakaran lahan gambut akan tercipta. Tak tahan dengan tebalnya asap yang mengganggunya dan keluarga, Pak Sus memutuskan ikut membantu pemadaman kebakaran lahan gambut sekitar rumahnya. Ia tahu, bencana asap kali ini banyak dilakukan oleh mereka yang hanya ingin cara mudah dan murah mendapatkan lahan garapan baru, atau lahan lama yang diolah dengan komoditas baru. Ia tahu bahwa pembakar lahan gambut akan pergi begitu saja setelah tahu api tak lagi bisa dikendalikan, setelah asap begitu pekatnya. Kebakaran hutan, lahan, dan gambut terjadi sangat hebat di tahun 2015, mencakup wilayah hampir seluruh Indonesia. Catatan BNPB, pada jangka waktu 1 Juli – 30 Oktober 2015, tercatat luas kebakaran mencapai 2.089.911 ha, yang terdiri dari 618.574 kawasan gambut dan 1.471.337 ha kawasan non gambut. Luas tersebut setara dengan 1.935.103 x luas lapangan sepakbola, atau 32 x luas DKI Jakarta, atau 4 x luas Pulau Bali.

Bank Dunia mencatat total kerugian yang dialami Indonesia dari bencana kabut asap itu mencapai Rp 221 triliun. Beberapa daerah bahkan mengalami perlambatan ekonomi pada triwulan III tahun 2015. Daerah tersebut antara lain; Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Papua. Tak hanya itu, Singapura dan Malaysia khususnya, mengirim protes khusus ke Pemerintah Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tak lepas dari fenomena alam yang terjadi, sebagai bagian dari perubahan iklim global, yaitu kekeringan yang semakin meluas dari tahun ke tahun.