Bela - Fikaramandio/korpus-bahasa-Gayo GitHub Wiki

Bela

1. BÈLA

Salabisasi: : bè-la

Kelas kata: : Nomina (kata benda)

Makna:
Orang yang secara hukum atau adat menjadi sasaran balas dendam (terutama dalam konteks hukum adat Gayo terkait pembunuhan). Kata ini juga digunakan untuk menggambarkan konsep balas dendam berdasarkan hukum adat, termasuk situasi tertentu di mana balas dendam dapat dilakukan atau tidak.

Fungsi Utama:
Digunakan untuk menyebut individu atau kelompok yang menjadi subjek tuntutan balas dendam berdasarkan hukum adat, serta mendeskripsikan proses hukum dan penyelesaian konflik terkait pembunuhan atau kejahatan serupa.

Contoh Penggunaan:

  • Òsahkō bĕsilō bèla n saudereungku 'ni: Berikanlah sekarang orang (bèla) itu kepadaku, yang menurut hukum harus menjadi sasaran balas dendam darah atas pembunuhan terhadap saudaraku

  • Ituntuté bèla ni saudereé: Ia menuntut balas dendam atas saudaranya (Secara harfiah: ia menuntut orang yang membunuh saudaranya)

  • Ujungé bèla le kite: Akhirnya balas dendam itu akan menimpa kita juga

  • Bèla muta(h)an (bèla yang ditahan): Ini merujuk pada kasus ketika pihak keluarga reje menolak menyerahkan seseorang yang secara hukum menjadi sasaran balas dendam darah oleh pihak lain. Ini dianggap sebagai salah satu dari 4 kĕmalōn edet (pelanggaran berat adat) dan dapat menjadi alasan perang. → Bandingkan dengan entri surung.

  • Ukum ni si mĕnusuh...: Menurut hukum adat, untuk pencuri yang terbunuh saat melawan ketika akan ditangkap, tidak dapat dilakukan balas dendam darah. Dalam hal ini: Bèla-nya hanyalah barang curian itu sendiri, artinya: keluarga korban cukup mengambil kembali barang curian itu; tidak boleh menuntut darah.

BÉLAI

atau mĕmbèlai:

Melakukan tindakan balas dendam terhadap seseorang.

  • Jĕma si maté ibèlai turah: Seseorang yang dibunuh harus diberi bèla (harus dibalas pembunuhannya)

  • Ibèlaié rĕtate kite ōsah ku wé: Ia membalas pemberian kita dengan pemberian balasan (di sini makna bèlai dipakai dalam arti lebih luas: membalas budi, memberi balasan)

  • Jĕma prang maté gere bĕrbèla: Orang yang mati dalam perang tidak dilakukan balas dendam terhadapnya

  • Ukum ni jĕma mĕnusuh, ike i umah berbèlan tété, ike i blang bĕrbèlan kĕrĕpé: Hukum adat menyatakan bahwa:

Bagi pencuri yang dibunuh saat tertangkap basah, tempat kematiannya — lantai rumah (jika di rumah) atau rumput (jika di ladang) — adalah bèla-nya, artinya: tidak perlu ada balas dendam darah karena ia sudah dihukum di tempat.

Catatan Tambahan:

  • Bèla memiliki dimensi hukum adat yang sangat kuat dalam masyarakat Gayo, terutama dalam sistem penyelesaian konflik berbasis kekerabatan.

  • Dalam budaya Gayo, konsep bèla mencerminkan nilai-nilai keadilan, tanggung jawab, dan restitusi dalam komunitas. Namun, ada pengecualian tertentu, seperti dalam kasus pencurian atau peperangan, di mana balas dendam tidak berlaku.

  • Secara metaforis, kata ini dapat digunakan untuk menggambarkan "beban" atau "tanggung jawab" yang harus dipenuhi oleh pihak tertentu untuk memulihkan keseimbangan sosial.

Konteks Budaya:
Hukum Adat dan Balas Dendam
Dalam budaya Gayo, konsep bèla adalah bagian integral dari sistem hukum adat yang dikenal sebagai edet. Sistem ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan sosial dan harmoni dalam komunitas melalui penyelesaian konflik berbasis kekerabatan. Berikut beberapa aspek penting terkait bèla:

  1. Balas Dendam dalam Pembunuhan:

    • Jika seseorang dibunuh, keluarga korban memiliki hak untuk menuntut balas dendam (bèla) kepada pelaku atau keluarganya. Ini dikenal sebagai hukum ni jĕma mate (hukum bagi yang terbunuh).
    • Contoh: Frasa "Jĕma si maté ibèlai turah" menunjukkan bahwa setiap korban pembunuhan harus dipenuhi dengan balas dendam untuk memulihkan keadilan.
  2. Pengecualian dalam Hukum Adat:

    • Tidak semua kasus kematian memerlukan balas dendam. Misalnya, dalam kasus pencurian atau peperangan, hukum adat memberikan pengecualian.
    • Contoh: "Ukum ni si mĕnusuh" menyatakan bahwa jika seorang pencuri dibunuh saat melawan penangkapan, keluarganya tidak dapat menuntut balas dendam.
  3. Restitusi sebagai Alternatif:

    • Dalam beberapa kasus, balas dendam dapat digantikan dengan restitusi berupa barang atau uang. Ini disebut mĕlĕngkan bèlaé, di mana keluarga pelaku memberikan barang curian sebagai bentuk pemulihan.
  4. Hubungan dengan Konsep Lain:

    • Bèla sering kali dikaitkan dengan konsep lain dalam hukum adat, seperti surung (pengasingan sementara) dan kĕmalōn edet (kasus pelanggaran hukum adat).
    • Misalnya, jika kepala suku menolak menyerahkan pelaku pembunuhan, hal ini dapat memicu konflik yang lebih besar, dikenal sebagai bèla muta(h)an (situasi di mana pelaku ditahan tanpa penyelesaian).

Secara keseluruhan, kata bèla tidak hanya sekadar deskriptif, tetapi juga sarat dengan makna budaya dan hukum adat yang mendalam, menjadikannya elemen penting dalam memahami identitas masyarakat Gayo.


2 Bĕla

Salabisasi: bla / be-la
Kelas Kata: Nomina

Makna: Ruang terbuka; tempat yang tidak tertutup atau belum digunakan, khususnya dalam konteks pertanian seperti bagian tanah di sawah yang tidak terkena bajak (antara dua alur bajak).

Fungsi Utama: Digunakan untuk menyebut area kosong atau terbuka baik dalam arti harfiah maupun kiasan.

Contoh Penggunaan:

  • Bla pĕdih nòr wé (atau pĕnòrné): Dia membajak sawah secara tidak rata, ada bagian yang tidak terbajak.
  • Jĕma nombang bla : Orang menanam padi dengan tidak rapi, meninggalkan banyak celah kosong.
  • Parut n riru gere sapat bla i salaké : Tidak ada satu titik pun di wajahnya yang tidak tersentuh cacar.
  • Uten sō gere nè sapat bla si gere kuarung: Tidak ada satupun sudut di hutan itu yang belum saya kunjungi

Catatan Tambahan:
Termasuk dalam kosakata agraris dan deskriptif yang digunakan dalam aktivitas pertanian dan penjelasan visual/situasional.